sponbop :)

my uburrr

TEARS


TEARS


Hari itu adalah hari pertama demonstrasi Masa Orientasi Sekolah di sebuah SMA Negeri dikota Bandung. Vena telah bersiap menuju sekolah. Dia nampak rapih dengan seragam SMPnya yang sebentar lagi tak terpakai itu. Hari itulah hari dimana  masalah besar perlahan-lahan mulai menimpanya.


Vena Amalia, tepatnya nama panjang gadis yang sekarang menginjak usia 16 tahun itu. Setahun sudah Vena bersekolah di SMA yang dipilih ayahnya itu. Vena berkerudung. Dia tidak begitu cantik jika dibandingkan dengan teman-temannya. Hanya saja Vena memang ramah. Dan dia memang aktif disebuah organisasi disekolahnya. Hingga membuatnya populer.
Semenjak hari demonstrasi MOS itu, Vena menjalin sebuah persahabatan dengan seorang anak laki-laki yang memang menurut Vena adalah teman yang cukup baik. Farel namanya. Farel satu kelas dengan Vena, dia cukup baik dan perhatian dengan Vena.
Singkat cerita, Vena tinggal disebuah desa yang terletak jauh dari kota. Berbeda dengan Farel yang bertempat tinggal disebuah perumahan yang notabenenya gampang jika mencari sesuatu. Akses apapun ada. Berbeda dengan rumah Vena yang agaknya jauh dari keramaian.
Tak banyak siswa yang tahu kalau Vena dan Farel bersahabat. Vena adalah gadis yang periang, gampang bergaul dan lumayan akrab dengan siapa saja. Sekalipun dia belum kenal orang itu. Maklum saja, didikan orang desa memang begitu.
Sedangkan Farel adalah cowok yang pendiam, lugu, asik dan, lumayan cool juga. Dia tinggi besar dengan kulit sawo matang dan hidung agak mancung. Menurut banyak siswa juga Farel memang ganteng. Tapi dia tidak sepopuler Vena yang memang punya jiwa terkenal.
Sebenarnya, Vena dan Farel itu, berbeda. Sangat berbeda. Farel adalah anak rumahan, yang setiap keinginannya pasti dituruti oleh ayahnya. Ayahnya adalah seorang PNS. Dia amat sangat disayang oleh orang tuanya. Sedangkan Vena adalah anak biasa saja, tak semudah Farel saat ia menginginkan sesuatu. Dan tak sebahagia Farel tentunya. Tak jarang Vena mearsa iri dengan Farel. Jadi yang dilakukan Vena adalah mencoba mencari perhatian dunia agar seluruh orang tahu betapa kasihan dirinya itu.
Awal pertemuan Vena dan Farel adalah saat MOS tersebut. Vena memberanikan diri mengirim sebuah pesan singkat melalui ponselnya.
Assalamualaikum. Farel Hanugraha bukan?
Vena memberanikan diri untuk sekedar menyapa Farel. Tak ada yang tahu, bahwa dari pertama pertemuan Vena dengan Farel, Vena memendam rasa yang amat sangat membara didalam hatinya. Belum pernah dia melihat dan berkenalan lalu berteman apalagi sampe bersahabat dengan orang semanis dan seganteng Farel. Vena berharap banyak tentang Farel. Berharap suatu saat Vena bisa memiliki Farel seutuhnya. Tapi sepertinya Vena berlebihan. Impiannya terlalu tinggi hingga saat ia jatuh, rasanya benar-benar menyakitkan.
Waalaikumsalam. Iya saya Farel. Kamu siapa yah?
Sebuah balasan singkat itu adalah pesan pertama yang Vena terima. Hatinya senang, melayang dan bahagia. Itu dulu, sebelum dia tahu, kalau Farel-lah yang akhirnya menghancurkan impian besar Vena. Impian yang memang dia harapkan pada Farel. Malah Farel yang juga menghancurkannya.
Lalu Vena membalas, saling smsan, telponan, bahkan Vena rela mengganti kartu perdananya agar bisa selalu smsan dengan Farel.
Sore itu adalah hari pertama untuk siswa baru mengikuti eskul pramuka. Yang memang diwajibkan bagi seluruh siswa baru. Karena Vena memang malas untuk pulang, dia mampir dulu dirumah teman sekelasnya yang ternyata rumahnya tidak jauh dari rumah Farel. Sivi namanya. Vena pergi kerumah Sivi bersama Nadin. Teman sekelas Vena juga.
Vena masih smsan dengan Farel. Sivi dan Nadin tak tahu kalau Farel dan Vena bersahabat. Vena menceritakan sedikit kisahnya kepada kedua teman barunya saat itu.
“Eh, entar aku kesekolahnya bareng Farel aja yah, aku ngikut dia nieh” Vena berucap sambil membenarkan tali sepatunya saat ia hendak kembali lagi kesekolah untuk mengikuti eskul pramuka.
“kamu ada hubungan sama Farel, Ven? Hmm denger-denger Farel kemaren baru putus tuh sama pacarnya.” Nadin menjelaskan. Karena Nadin satu SMP dengan Farel saat SMP dulu, jadi Nadin tahu banyak tentang Farel.
“Kamu tahu banyak yah Din tentang Farel? Aku sama Farel sahabatan kok, gak ada apa apa. Farel orangnya asik sih. Emangnya pacarnya Farel itu siapa?” Vena mulai penasaran dengan topik pembicaraan barunya itu.
“Farel itu dulu pacaran sama Nabila. Anaknya konglomerat yang sering ngasih sumbangan buat sekolah-sekolah, panti asuhan juga, Nabila sesekolahan sama kita. Bokap nyokapnya orang sukses. Dia anaknya orang berada. Dia cantik, putih, tinggi gitu deh. Tapi pendiam, gak sombong juga. Gak kaya kebanyakan anak orang kaya lain. Setauku Farel sama Nabila udah pacaran sekitar satu tahun yang lalu. Pas kita kelas 9. Karena suatu hal, denger-denger beberapa minggu yang lalu mereka putus.” Sivi menjelaskan.
Suasana jadi hening sekarang, Vena benar-benar memutar otaknya agar tetap bisa berpikir. Sepertinya saingan Vena agak berat. Dan mungkin akan sedikit sulit baginya, untuk mendapatkan Farel.
Mereka bertiga berangkat kembali ke sekolah. Farel berhenti di depan Vena dan segera mengajak Vena untuk segera naik kemotornya.
“Emm, kamu punya pacar kok gak bilang-bilang seh Rel? Gitu banget deh” Vena membuka pembicaraan.
“Ahh, sekarang aku jomblo Ven, gak ada pacar, minggu kemaren abis putus. Gak tau kenapa, mungkin bosen kali sama aku.” Nada bicara Farel sedikit lambat. Mungkin karena mengingat masa-masa saat mereka bersama.
“Hmm, gak papalah Rel, aku udah gak pacaran sekitar setengah tahun yang lalu. Cowoku selingkuh. Jadi sampe sekarang aku mending jomblo. Tenang juga sih, jalan ama cowo gak ada yang marah.” Vena malah jadi curhat.
“Kasian juga yah kamu Ven, sabar yah, semoga bisa menuin cowo yang bisa bikin kamu bahagia nantinya”
Tak terasa perbincangan mereka terhenti karena mereka sudah sampai disekolah.
“Thanks ya Rel, sorry kalo ngrepotin” Vena berterimakasih.
“Gapapa Ven, sante aja sama aku mah hehe” Farel berlalu dengan mengembangkan senyum yang paling manis yang pernah Vena lihat seumur hidupnya. Hari itu adalah hari pertama mereka bertatap muka. Karena memang sebelumnya mereka hanya bisa  berkomunikasi lewat ponsel saja. Hari itu adalah hari yang cukup membuat Vena bahagia. Sebelum pada akhirnya ia menderita, karena Farel.
Hari berganti hari, persahabatan Vena dan Farel tetap berjalan lancar dan mulus. Banyak juga yang sudah tahu kalau mereka berdua bersahabat. Sekalipun itu Nabila. Mereka saling terbuka, mengerti satu sama lain, dan yang pasti mereka sudah bisa mengerti bagaimana sifat dan karakter sahabatnya itu.
Semakin hari, Vena malah jadi semakin menyukai Farel. Dari cara bicaranya, Farel begitu sopan santun, tidak seperti anak laki-laki biasanya yang cenderung tidak sopan dalam bertutur dan bertindak. Dan dari caranya bertingkah, Farel juga kelihatan dewasa, lebih dewasa dari Vena tentunya. Dan ini yang membuat Vena semakin mengagumi Farel sebagai sahabatnya. Lebih tepatnya orang yang disukai Vena.
Sore itu adalah sore yang cerah dibawah langit senja yang mulai menguning. Vena memberanikan diri untuk meminta izin ibunya untuk pergi berjalan-jalan, tak mudah bagi Vena untuk meminta izin kepada orang tuanya. Tidak semudah Farel yang bebas pergi kemana saja dia mau. Vena juga jadi iri setiap kali mengingatnya. Vena berjalan jalan mengitari sawah disekitar desanya. Pemandangan yang indah tentunya.
“Hmm, seger banget. Bagus juga nih pemandangannya. Coba disini ada Farel yah, pasti lebih seru” Vena malah berkhayal. Dia ternyata masih bisa berkhayal meskipun suasana hatinya benar benar lagi kacau balau dan porak poranda. Padahal sudah jelas sekali khayalannya itu takkan pernah jadi nyata.
Vena sendirian disitu. Ditengah hamparan sawah yang hijau, dibawah kuningnya langit sore dan ditemani kicauan burung-burung yang indah. Vena merenung. Sebenarnya yang terjadi ini benar-benar rumit.
“Tuhan.. kenapa sih bisa jadi gini?” Vena bergumam. Menyesali kenapa nasibnya benar-benar payah saat ini.
Kemarin itu adalah hari yang paling buruk yang pernah Vena rasakan. Vena dan Farel saling smsan. Mereka bercerita banyak tentang pengalaman mereka dengan lawan jenis mereka masing-masing. Vena bercerita bahwa dia sedang jatuh cinta terhadap seorang cowok. Dan dia bingung bagaimana untuk mengungkapkannya.
Wahh seneng tuh yang jadi cowoknya yah Ven, bisa ditaksir sama kamu hehehe. Hmm kalo kamu bingung, mending pancing dia aja Ven, biar dia tahu gimana perasaan kamu ke dia. Kalo enggak ya kamu bilang aja ke dia. Sekedar bilang kan gapapa? Dari pada kamu mati berdiri nahan rasa suka gitu Ven. Haha. Apa mau aku bantu makcomblangin? Siapa cowoknya Ven? Kalo aku bisa bantu pasti aku  bantuin Ven!
Vena memandang dan membaca lagi pesan singkat yang dikirim Farel tempo hari itu.
Sebenarnya kalo dicermati, kata-kata Farel ada benernya juga. Vena perlu mengatakannya. Tapi, Vena tak punya cukup banyak keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya. Kepada orang yang dia suka. Karena, apalagi orang yang Vena suka adalah Farel, sahabatnya sendiri.
Semoga kamu berhasil yah Ven! Aku berharap kamu bisa bahagia sama cowok yang kamu suka, berharap bisa cepet jadian juga hehe. hmm aku mah lagi seneng Ven! Nabila call me back. Udah beberapa hari nih kita smsan lagi, telfonan, and ketemuan juga. Dan hari ini kita balikan. Dia bilang dia masih sayang sama aku, n sebenernya gak ingin putus sama aku. Aku seneng banget Ven! Akhirnya aku gak jadi jomblo lagi. Aku emang udah sayang banget sama dia Ven! Aku gak bisa move on dari dia! Dia cinta pertama dan terakhirku Vena! I LOVE NABILA :*
Seketika itu juga, bumi rasanya berhenti berputar, langit rasanya capek diatas terus, dan bumi sepertinya ogah diinjak-injak mulu. Air mata Vena langsung membanjiri pipinya. Membaca pesan barusan, rasanya itu kiamat udah didepan mata. Vena gak bisa berpikir jernih. Dia benar-benar terpukul saat membaca pesan yang Farel kirim barusan.
Farel balikan lagi? D..dia gak bisa move on? Nabila cinta pertama dan terakhir Farel? Oh Tuhann..
Berbagai jenis dan spesies pertanyaan mulai muncul menghantui pikiran Vena. Vena benar-benar merasa sakit hati. Patah hati yang pernah ia rasakan sebelumnya, kini terulang lagi. Dia melaknat dirinya sendiri, kenapa bisa bersahabat dengan Farel jika akhirnya begini. Dia juga melaknat Farel, karena dia bilang gak bisa move on, padahal banyak yang lebih cantik dan lebih segalanya dari Nabila diluar sana. Padahal Vena sendiri gak sadar kalo dia lebih buruk dari Nabila yang kiranya sudah perfect bagi setiap lelaki dimanapun, apalagi Farel.
Vena menangis. Menangis dan terus menangis. Hingga pesan pesan yang dikirim Farel tak sanggup lagi untuk dia baca. Vena memang terlalu tinggi untuk menaruh harapan pada seseorang. Padahal dia sendiri tidak melihat bagaimana dirinya dan bagaimana orang yang sekiranya akan dia sukai.
Ven? Sibuk yah? Hmm yaudah deh, aku seneng bisa cerita ini ke kamu Ven, kamu satu-satunya orang yang tahu kalo aku udah balikan sama Nabila, aku percaya kamu bisa jaga rahasiaku. Jangan bilang siapapun ya Ven, ini maunya Nabila, okedeh see you J.
Itu adalah pesan terakhir yang Vena baca kemarin. Dia yakin Farel mengirim bayak pesan ke ponselnya. Tapi sengaja Vena tidak membacanya. Dan itu memang terbukti.
Tak sadar air mata Vena terjatuh lagi. Dia hanya ingin, satu hal. Farel tahu tentang perasaannya dan membalasnya. Tapi tak mungkin. Kisah cinta ini sepihak! Tepatnya bukan kisah cinta. Tapi, rasa cinta! Farel tak mungkin menyukai Vena, karena Nabila lebih segalanya dari Vena. Farel hanya menganggap Vena adalah sahabatnya. Sebenarnya, itu saja sudah cukup. Seharusnya. Tapi tidak bagi Vena, dia ingin sesuatu yang lebih dari Farel, lebih dari sekedar bersahabat.
Hari berganti hari, Vena sadar, dia tak perlu selalu merasa sedih seperti ini. Vena harus sadar, dia bukan siapa-siapa. Dan dia bukan apa-apa. Dia hanya anak Adam yang sedang berusaha mencari jati dirinya sebagai anak Adam sejati. Dia sadar, Farel bukan satu-satunya cowok yang ada didunia ini. Dia tak perlu menganggap Farel lebih dari sedekar sahabatnya.
Tapi, bagaimanapun juga Vena masih memendam  rasa yang belum sempat diutarakan kepada Farel. Dia berjanji bahwa dia akan kubur dalam-dalam rasa itu dan berusaha untuk tidak mengungkit-ungkit lagi. Jadi dia hanya benar-benar menganggap Farel sebagai sahabatnya. Bukan lagi sebagai orang yang Vena taksir, ataupun orang yang Vena sukai.
Setiap malam Vena selalu berdoa kepada Tuhan, agar Dia mau menghilangkan rasa yang bergejolak ini didalam hatinya. Vena selalu menangis setiap malam. Dia tak bisa seperti ini selamanya. Tapi mau bagaimana lagi? Air matanya tak berhenti mengalir saat ia mengingat dan meng-flashback saat-saat dia melihat Farel dan Nabila bersama.
Vena begitu terpukul, saat melihat Farel dan Nabila bersama, berboncengan dalam satu motor, berpegangan erat seperti pasangan muda mudi lainnya, saling cubit mencubit, tertawa bersama, berjalan bersama, makan bersama dikantin, dan itu semua benar-benar membuat Vena marah, kecewa dan cemburu. Tapi Vena sadar, memangnya dia punya hak apa sehingga berani-beraninya dia cemburu terhadap Farel dan Nabila, yang memang sudah menjadi pasangan kekasih? Dia tidak berada dalam posisi yang sah dan menguatkan dirinya untuk cemburu terhadap pasangan bahagia itu.
Hari-hari dilalui Vena dengan keadaan sepi. Gundah, dan galau tentunya. Tapi sebisa mungkin dia menutup-nutupinya agar tak ada yang tahu bagaimana perasaannya sampai saat ini. Sebenarnya, kalau hatinya dikeluarkan dari dalam tubuhnya, mungkin sudah banyak sekali luka yang mrnggerogotinya dan tak layak untuk dipakai lagi. Yahh inilah masa-masa yang paling sulit dalam hidup Vena.
Meski begitu, Farel selalu perhatian kepada Vena, dalam arti sahabat tentunya. Dia selalu mengingatkan Vena saat Vena melupakan sesuatu. Dan Farel tidak keberatan saat Vena meminta bantuan. Sekalipun itu merepotkan. Farel terlalu baik, tapi terlalu dalam juga menancapkan luka dihati Vena. Tapi semua bukan kesalahan Farel. Farel tak harus merasa bersalah dan meminta maaf pada Vena atas apa yang menimpa hati Vena. Vena saja yang tidak tahu diri, dan tentunya tidak tahu malu.
Bulan berganti bulan, tak sadar sebentar lagi akan ada liburan akhir semester gasal. Vena  meraih ranking 8 dikelas, sedangkan Farel meraih ranking 13 dikelasnya. Ternyata dikala gundah, galau dan gelisah pun, Vena masih bisa berusaha untuk jadi yang terbaik dikelas, meskipun hanya ranking 8, tapi termasuk bagus menurut Vena, dan dia perlu meningkatkan lagi.
“Wahh aku pikir, lebih pinter aku daripada kamu Ven, kok enggak yah? Haha” Farel menjitak lirih kepala Vena. Pertanda dia turut senang dan bahagia saat sahabatnya lebih baik darinya.
“Ihh apaan sih Rel? Aku emang pinter kali. Wee” Vena mencibir, ada semacam rasa yang berkecamuk dalam hati Vena, antara senang saat Farel memujinya, dan sedih saat mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Tak sadar, Vena melamun.
“Heyy? Kok nglamun sih? Udah, pada pulang aja gieh!” Farel membuyarkan lamunan Vena, Vena mengangguk dan berjalan pulang diantara keramaian wali murid yang sedang menerima Laporan Hasil Belajar putra putrinya selama disemester gasal ini.
Diantara kebimbangan hati Vena, Darren datang. Seorang siswa seangkatan dengan Vena yang ternyata mempunyai rasa terhadap Vena. Darren menyukai Vena. Tapi entah mengapa, Vena sepertinya enggan untuk membuka hati kepada Darren untuk mengisi kekosongan hatinya. Separuh hati Vena, sepertinya sudah terikat untuk Farel.
Ven? Denger-denger Darren suka sama kamu yah? Waah gimana nih Ven? Darren baik kok, dia pernah satu sekolahan sama aku waktu SD dulu. Kalo kamu ditembak sama dia, terima aja yah Ven, dijamin gak bakal nyesel! Semangat kawan! J
Pesan dari Farel membuyarkan lamunan Vena. Akhir-akhir ini, Vena memang sering melamun. Entah dari mana tiba-tiba dia sadar kalo dia sedang melamun.
Sekarang, Vena sudah berbeda. Apalagi, semenjak patah hati kepada Farel, tak ada satu orangpun yang tahu bagaimana perasaan Vena terhadap Farel. Apalagi saat melihat kebersamaan Farel dengan Nabila. Itu adalah suatu kesedihan yang tak terbandingi rasanya. Seringkali Vena menangis dalam hati, saat melihat status di facebook Farel dan Nabila, dan di twitter juga. Ingin rasanya Vena membunuh Farel. Tapi apa daya? Dan apa haknya?
Agaknya, Farel juga merasakan apa yang terjadi dengan sahabatnya itu. Farel sudah merasakannya sejak lama. Sejak beberapa hari pasca ia dan Nabila balikan. Tapi Farel tak sampai hati membiarkan sahabatnya sendiri terpuruk didalam kesedihan. Seringkali Farel melihat Vena, sendirian, melamun, dan hanya berdiam diri dikelas. Farel semakin bingung.
Ven kamu kenapa sih? Kamu kaya aneh gitu deh? Kalo kamu punya masalah, crita aja sama aku Ven, siapa tahu aku bisa bantuin. Aku gak tega ngliat kamu sendiri gitu, terpuruk n diem terus dikelas. kemaren-kemaren kamu jadi aneh. hmm ini kan liburan, aku saranin kalo kamu bener-bener lagi ada masalah, kamu cerita ke aku, abis itu kamu refreshing tuh biar otaknya seger. Aku cuman gak mau kamu kenapa-napa sebagai sahabatku Ven, harusnya kamu cerita sama aku. Katanya kita sahabat selamanya, jadi gak ada rahasia-rahasiaan kan?
Farel kembali mengirim pesan. Vena membacanya dengan berurai air mata. Bagaimana dia bisa menceritakan kebimbangan hatinya kepada Farel, sedangkan orang yang akan Vena ceritakan adalah Farel sendiri?
Tuhan, aku harus gimana? Rasanya berat banget sih masalahku ini? Aku gak mau cerita kesiapapun. Ini rumit. Ini gak adil ya Tuhan! Kenapa aku gak seberuntung Nabila? Dia cantik, terpandang, dia bisa mendapatkan Farel! Kurang apa dia! Beginikah nasibku Tuhan?
Vena masih menangis. Vena benar-benar iri terhadap Nabila.
Libur akhir semester masih panjang, Vena melalui hari-harinya hanya dengan berdiam diri dirumah. Sesekali dia pergi kesekolah untuk urusan organisasinya. Sejenak dia melupakan masalahnya yang dia alami saat ini. Tapi, rasa sukanya terhadap Farel tetap saja bersarang didalam hati Vena.
Sore itu adalah sore yang cerah, Vena pergi kesawah yang memang menjadi pelarian saat dia sedang bingung dan bimbang. Tapi bedanya kali ini Vena memang tidak lagi bingung dan bimbang, dia hanya ingin berjalan-jalan saja. Hubungan Vena dan Farel masih berjalan lancar selayaknya sahabat. Komunikasi mereka juga masih baik. Dan sekarang kehadiran Darren yang semakin dekat dengan Vena mambuat sedikit penderitaan Vena yang selama ini ditanggungnya sendiri agak berkurang.
Beberapa hari sebelum liburan akhir semester selesai, Darren menyatakan perasaannya kepada Vena. Sebenarnya yang Vena rasakan terhadap Darren tidak lebih hanyalah sebuah perasaan simpati belaka. Vena menanggap Darren tak lebih dari sekedar teman biasa saja. Tapi, Vena malah menerima kehadiran Darren, dan sekarang mereka berdua berpacaran.
Sebenarnya, Darren tak lain hanya pelarian Vena belaka. Vena tak ingin selamanya merasakan sakit hati kepada Farel yang ia sukai sejak dulu. Sedangkan Farel sendiri tak mungkin menyukai Vena, karena Farel memang sudah memiliki yang lebih segalanya dari Vena, yaitu Nabila. Dan sekarang, dengan kehadiran Darren yang selalu mengisi kekosongan hati Vena, membuat hati Vena sedikit bahagia. Vena pelan-pelan bisa melupakan perasaannya kepada Farel yang ia pendam sejak dulu.
Farel, aku sekarang seneng deh, aku udah gak sendiri lagi, pacarku baik Rel, makasih saran kamu buatku dulu. Aku sama sekali gak nyesel J
Vena mengirim pesan kepada Farel tentang perasaannya sekarang. Jarang sekali dia mengungkapkan perasaan senangnya kepada Farel, karena memang yang ia rasakan selama ini hanyalah kesedihan dan keterpurukan yang Farel sendiri juga tak tahu apa yang sedang Vena pikirkan.
Wahh selamat yah Ven, aku ikut seneng deh kalo kamu emang udah bahagia sama Darren, semoga bisa selamanya yah. Amiiin J
Pesan singkat dari Farel kembali diterima diponsel Vena. Vena sedikit lega, dia benar-benar berterimakasih kepada Darren yang telah membawa pergi perasaan terlarangnya kepada Farel. Sekarang dia bisa menganggap Farel tak lebih dari sahabatnya sendiri. Perasaan itu sebenarnya masih ada, tapi benar-benar sudah dikubur dalam-dalam dihati Vena.
Hubungan Vena dan Darren sebagai pasangan kekasih sudah berjalan lebih dari setengah tahun, Vena juga sering berbagi cerita bahagianya bersama Darren kepada Farel. Begitu juga dengan Farel. Mereka saling tukar pengalaman dan tukar kebahagiaan.
Sebenarnya, saat Vena melihat kebersamaan Farel dan Nabila, dia sering menjerit dan menangis dalam hati. Entah mengapa Vena belum benar-benar menghilangkan perasaan terlarangnya terhadap Farel. Vena sadar dirinya telah memiliki Darren yang amat sangat baik terhadapnya, walaupun Darren tidak seperti Farel, tapi Vena tidak mungkin menyakiti Darren yang telah menjadi kekasihnya sejak beberapa bulan itu, dan yang terpenting Darren bisa membuat Vena bahagia. Meski kebahagiaan itu tak akan sama saat Farel yang jadi kekasih Vena. Itu yang sebenarnya Vena harapkan. Tapi, itu tak mungkin. Dan perlahan, rasa yang sudah Vena kubur dalam hati itu, muncul kembali.
Air mata itu hadir kembali. Air mata yang selama ini sudah Vena simpan rapi dalam matanya, kini terpaksa harus terkeluarkan kembali. Air mata yang sama saat dia mengeluarkannya untuk Farel. Orang yang amat Vena sukai, tapi perasaannya itu tak mungkin terbalaskan.
 Akhir-akhir ini Vena kembali terpuruk dalam masalah barunya itu. Ini lebih rumit dari sebelumnya, ini antara dirinya, Darren, dan perasaan terlarangnya kepada Farel. Apalagi perasaan suka yang mulai tumbuh untuk Darren, perlahan-lahan sirna. Vena tak tahu, apakah dirinya masih bisa mempertahankan hubungannya dengan Darren.
Akhirnya, untuk terakhir kalinya, Vena ingin menghentikan semuanya. Vena pindah sekolah, dan dia terpaksa harus menyelesaikan hubungannya dengan Darren.
Siang itu...
“Ren, makasih banget yah, selama ini kamu udah bikin aku bahagia, udah bikin aku seneng dan udah ngasih aku kesempatan buat jadi orang yang penting dalam hidup kamu. Aku minta maaf karena aku udah ngebiarin kamu masuk terlalu dalam di hidupku, aku minta maaf banget, aku nggak bisa ngelanjutin hubungan kita, cukup sampe disini aja Ren, aku mau pindah ke Semarang, aku gak mau LDR, aku takut bikin kamu sakit hati karena aku. Sekali lagi termiakasih, dan aku minta maaf”
“T..Tapi Ven, aku sayang kamu, aku gak mau kamu pergi dari hidupku, aku udah sayang banget sama kau, aku gak papa kit LDR, yang penting kita jangan ngudahin hubungan kita Ven, pliss”
“Maaf Ren, aku gak bisa”
Vena pergi berlalu, dia meninggalkan Darren yang diam terpaku karena tidak percaya apa yang dikatakan Vena barusan. Tak sadar air mata Vena menetes, dia menangis. Bahkan rasanya lebih parah dan lebih sakit dari yang pernah ia rasakan saat melihat Farel dan Nabila bersama. Vena merasa telah menyia-nyiakan orang yang telah menyayanginya dengan tulus. Vena bahkan tak tahu apakah dia bisa menemukan orang yang sama seperti Darren diluar sana.
Vena sempat  membalikkan badannya, demi melihat orang yang pernah membuatnya bahagia, dan untuk yang terakhir kalinya, Vena mengatakan “Kamu bisa nnyari yang lebih baik dari aku Ren”
Vena berlari. Air matanya masih berurai, rasanya begitu berat menjalaninya. Tapi ini adalah keputusan yang dia pilih. Vena tak mungkin menarik kembali kata-katanya. Ini sudah bulat.
“Tapi kamu yang terbaik Ven! Aku janji aku bakal simpan rasa ini buat kamu! Aku janji aku bakal nyusul kamu ke Semarang saat aku udah sukses nanti! Inget janji aku Vena!”
Darren berteriak, dia terpukul. Sama seperti Vena. Perpisahan ini rasanya benar-benar berat bagi Darren. Begitu juga bagi Vena. Padahal Vena sudah berpikir, tujuannya adalah untuk mrnghindari Farel. Tapi dia tak menyangka bakal seperti ini rasanya. Vena sadar, dia telah menyia-nyiakan Darren.
Vena kini sendiri, terpuruk dalam kesedihannya. 2 hari lagi, Vena berangkat, dan sekarang orang tuanya tengah mengurusi surat-surat kepindahan Vena menuju ibukota Jawa Tengah itu. Vena sengaja tidak menceritakannya kepada Farel.
“Bu, makasih yah udah ngiziin Vena buat ngikut tante Ririn di Semarang. Kalo liburan, Vena janji bakal pulang kesini, Vena jigga janji bakal jadi lebih baik daripada disini. Vena minta maaf bu, pak”
Vena berpamitan kepada orang tuanya. Vena akan menghabiskan 2 hari terakhirnya di Banding ini untuk berpamitan dengan sanak saudaranya. Dan banyak dari mereka, sanak saudara Vena yang enggan berpisah sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi. Vena pindah ke Semarang untuk meuntut ilmu yang lebih disana. Vena akan masuk ke pesantren kilat. Yang memang dekat dengan rumah tante Ririn yang ada di Semarang.
Esoknya, Vena pergi kesekolah, semalaman dia menangis, tak ingin sebenarnya meninggalkan tanah kelahirannya itu. Tapi, dia sudah memutuskan. Sudah tidak bisa lagi diganggu gugat. Vena kesekolah untuk berpamitan dengan teman-temannya. Termasuk yang terpenting adalah, Farel.
“Kamu tega yah Ven? Kamu tega banget ninggalin aku sendirian disini, aku gak punya sahabat lain selain kamu Ven!”
Suara Farel berat, seperti enggan sekali berpisah dengan sahabatnya. Vena menangis. Memang hanya ini yang bisa Vena lakukan.
“S..sorry Rel, aku gak bilang dari kemaren-kemaren. Kamu gausah sedih, masih banyak temen-temen yang bakal bahagiain kamu, temen-temen yang pasti mau jadi sahabat kamu. Masih banyak yang lebih baik dari aku Rel” Vena tersedu, air matanya masih membanjiri pipinya. Sama seperti saat perpisahannya dengan Darren kemarin.
“Tapi kamu sahabatku yang terbaik Ven! Gak ada yang bisa ngertiin aku selain kamu. Kamu selalu ada buat aku kan? Kamu yang selama ini ngasih arti yang penting tentang persahabatan! Aku sayang kamu sebagai sahabat aku Ven! Gak ada yang kaya kamu disini, diluar, dan dimanapun juga! Pliss kamu jangan perg Ven!”
Suara Farel semakin berat. Farel sepertinya akan menangis, tapi sekuat tenaga Farel menahannya. Dia tidak ingin dianggap cengeng sebagai seorang lelaki.
“Rel, aku bukan satu-satunya orang yang bisa kamu anggep sahabat kamu Rel, aku juga sayang kamu sebagi sahabat aku! Aku gak ingin pisah dari kamu. Tapi aku gak mau aku selalu begini!”
Vena menjelaskan. Entah dapat keberanian dari mana dia sekarang dia malah memancing rasa penasaran Farel.
“Maksud kamu apa Ven? Apa selama ini aku yang bikin kamu jadi sakit hati? Apa kehadiran aku jadi sahabat kamu itu salah? Kenapa kamu gak pernah mau cerita tentang masalahmu ke aku? Buat apa adanya sahabat Ven? Buat apa? Kamu selalu ada buat aku, saat aku sedih, senang, dan kamu juga selalu ngasih aku support buat tetep bertahan! Aku juga pengin bantu kamu, keluar dari masalah yang lagi kamu hadapi sekarang! Aku gak mau kamu menanggung ini sendirian Ven, aku gak mau!”
Kini air mata Farel mulai jatuh. Dia tak bisa lagi menahan air matanya. Farel sekarang menangis.
“Aku suka sama kamu Farel!”
Degg!
Jantung Farel rasanya berhenti saat mendengar kalimat yang baru saja Vena ucapkan. Farel diam. Gak percaya apa yang baru saja dia dengar. Suasananya jadi hening. Hanya isak tangis Vena saja yang terdengar.
“Kamu gak salah Rel, aku yang selama ini salah! Aku suka sama kamu, sejak pertama kita ketemu! Aku berharap aku bisa jadi milik kamu, dan kamu bisa jadi pacar aku seutuhnya! Tapi itu gak mugkin Rel! Gak mungkin! Kamu udah punya Nabila, yang lebih segalanya dari aku! Aku tahu aku salah karena terlalu lama menyimpan perasaan ini! Tapi aku gak bisa selamanya sakit saat melihat kamu bahagia sama Nabila Rel! Asal kamu tahu, Darren, cuman aku anggap sebagai temen aja! Gak lebih dari itu! Kita pacaranpun semata-mata cuman buat ngilangin rasa suka aku ke kamu Rel! Tapi nyatanya rasa itu masih ada Rel! Sampe saat ini! Dan aku gak ingin, selamanya bakal begini! Kamu gak perlu minta maaf Rel, aku yang minta maaf ke kamu! Maaf aku lancang mengatakan ini semua! Udah lama banget aku pengen ngasih tau in ke kamu! Tapi aku gak kuat, dan gak sanggup. Dan aku harap, perpisahan ini akan jadi perpisahan termanis diantara persahabatan kita Rel”
Vena menangis, masih tetap menangis. Bedanya, sekarang dia mempunyai keberanian lebih untuk mengutarakan semua yang telah mengganjal pikirannya selama satu tahun belakangan ini. Vena lega. Lega sekali rasanya. Sudah tidak ada lagi beban dalam hidupnya. Dia memang berharap agar Farel bisa jadi miliknya, tapi ini tak akan pernah terjadi. Vena mundur, pasrah, dan siap menerima semua yang akan Farel putuskan. Sekalipun itu adalah pernyataan bahwa persahabatan yang mereka jalin selama ini akak terancam ahncur.
“Ven, aku bingung. Aku bingung apa yang harus aku lakuin sekarang. Maaf aku gak bisa balas perasaan kamu. Aku sayang kamu, tapi sebagai sahabat. Gak lebih dari itu. Aku udah punya Nabila, dia yang terbaik, buat aku jadiin pendamping hidup. Tapi asal kamu tahu, kamu juga yang terbaik Ven, buat jadi sahabatku selamanya Ven. Aku gak ingin kamu pergi, aku gak ingin persahabatan kita berakhir sampr disini.”
Farel mengusap air matanya yang jatuh membasahi pipinya.
“Persahabatan kita gak akan berakhir Rel, aku bakal selalu inget kamu sebagai sahabat aku. Maaf, aku akan masuk ke pesantren kilat. Disana aku gak bakal boleh bawa  hp. Tapi aku janji, aku bakal hubungin kamu kalo aku ada waktu luang Rel. Makasih buat selama ini. Aku punya sesuatu buat kamu. Anggep aja ini kenang-kenangan kita selama ini Rel”
Vena tersenyum. Memberikan sebuah album foto kenangan saat mereka bersama. Berharap ini akan jadi perpisahan yang termanis yang pernah ada.
Farel membalas senyum Vena. Di senang menerima album foto yang Vena berikan kepadanya. Farel mendekati Vena, mungkin untuk pertama dan terakhir kalinya. Farel mengusap air mata yang jatuh dipipi Vena. Dia tak ingin melihat sahabatnya menangis.
“Ini udah jadi keputusanmu Ven, aku gak bakal ikut campur. Tapi kamu harus janji sama aku, kamu gak boleh sedih lagi, dan gak boleh nangis lagi. Aku gak ingin melihat sahabatku menangis. Sama sekali gak ingin. Aku ingin air mata ini menjadi air mata terakhir tentang kita. Persahabatan kita gak akan pernah hilang Ven, gak akan pernah berakhir. Everlasting! Cuma badan kita aja yang jauh. Kita gak pisah”
Farel menggenggam air mata yang baru saja dia usap dipipi Vena. Berharap persahabatan mereka tak akan pernah berakhir.
Vena senang. Dia pamit dan berterimakasih kepada Farel yang selama ini sudah menjadi sahabat yang baik untuknya. Vena berusaha bersabar untuk menerima semuanya. Menerima kenyataan bahwa dia tak mungkin bisa bersanding dengan Farel yang merupakan sahabatnya sendiri. Tapi Vena berjanji, Vena tak akan menangis lagi, untuk alasan tidak penting seperti itu. Dia berjanji tak ada lagi air mata, tak ada lagi tangis dan tak aada lagi kesedihan. Ini adalah air mata yang terakhir untuknya.
Vena berjalan, berlalu pergi meninggalkan Farel, orang yang selama ini menjadi sahabatnya, sekaligus beban hidupnya, karena dia tak berani menyatakan perasaannya kepada Farel.
Vena membalikkan badan, melemparkan senyum yang termanis untuk Farel. Farel membalas senyum indah itu. Senyum manis yang tak akan pernah ia temukan dimanapun. Senyum persahabatan yang tak akan pernah ia dapat dari siapapun, kecuali Dari Vena. Farel menatap kepergian Vena, sampai akhirnya Vena menghilang ditengah keramaian siang itu.
Air mata Farel menetes. Rasa kehilangan bena-benar menyelimuti dirinya. Dia benar-benar tak ingin Vena pergi. Tapi apa daya, Vena telah memutuskannya. Farel yak bisa menolak.
Farel pergi, meninggalkan tempat itu, dan melalui kehidupan baru tanpa Vena sebagai sahabat disisinya.



0 komentar:

Posting Komentar

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

buku tamu :)

Code CBox milik sampeyan
Mau buat buku tamu ini ?
Klik di sini

kursor

Blogger Widgets

kursor

Blogger Widgets

Blogger news

Blogger templates