sponbop :)

my uburrr

back to tears


BACK TO TEARS

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Kini Vena telah menginjak usia 21 tahun. Vena bersekolah di sebuah universitas swasta dikota Semarang. Vena tinggal bersama tante Ririn. Bedanya sekarang Vena tidak lagi bersekolah dipesantren. Tapi fokus pada kuliahnya. Sekarang Vena sudah berbeda dengan yang dulu. Kepribadiannya dudah beda sekarang.
Kringgg kriinggg..


Jam bekker menunjukan pukul 05.00. Vena terjaga dari tidurnya, mengambil air wudlu dan melaksanakan sholat subuh berjamaah dengan tante Ririn dan Aris, putra tunggal tante Ririn yang sekarang menginjak usia 10 tahun. Om Faldi, suami tante Ririn tengah bekerja diluar kota. Sudah sering dan cukup biasa mereka melakukan aktivitas sehari-hari tanpa adanya Om Fadli.
Tante Ririn menyiapkan roti isi selai untuk sarapan Vena dan Aris. Selanjutnya tinggal menunggu mereka sarapan dan mengantar Vena dan Aris kesekolah. Kebetulan sekolah Vena dan Aris, dan tempat kerja tante Ririn satu jalan, jadi tante Ririn bisa sekalian mengantar Vena dan Aris sembari pergi ke kantornya.
Aris sudah sampai disekolahnya. Dia berpamitan dan segera masuk ke sekolahnya. Satpam disekolahnya itu sudah paham dan mengenal tante Ririn dengan baik. Mereka kini melanjutkan perjalanannya. 
“Ven, gimana kuliahmu? Sekaramg udah semester 4 yah?”
Tante Ririn membuka pembicaraan.
“Iya tante. Sekarang lagi banyak tugas nieh.” Vena menjawab.
“Oh iya, kamu punya pacar belum? Kenapa belum di kenalin sama tante Ven? Tante juga pengen tau pacar kamu loh” Tante Ririn asal bicara.
Vena terdiam, dalam hatinya terbesit pikiran tentang Darren, dan juga Farel. Orang penting dalam hidupnya yang pernah memberikannya kebahagiaan.
“Ahh tante apaan sih? Vena belum punya pacar tante. Di ponpes gak diajarin buat pacaran. Lagian ini lagi fokus kuliah dulu tante” Vena membenarkan kerudungnya.
“Oh gitu, terserah kamu sih Ven, cuman kamu kaya beda sama temen-temenmu yang kebanyakan udah punya pacar, tapi kamu belum. Dan masih fokus juga sama kuliahmu. Tante bangga sama kamu Ven”  Tante Ririn tersenyum. Vena membalas senyum tante Ririn.
Tak terasa perjalanan mereka sudah sampai. Vena sudah sampai dikampusnya dan sekarang Vena berpamitan kepada tante Ririn. Vena keluar dari mobil, disambut oleh teman sekelasnya, Kevin.
“Hey Vin!” Vena menyapa Kevin.
“Heyy, Ven aku punya berita bagus buat kamu!” langsung saja Kevin menyambar tangan Vena yang baru saja keluar dari mobil.
”Berita apaan sih Vin? Heboh banget gitu!” Seperti biasa, sikap Vena hanya dingin. Tek terlalu tertarik dengan topik pembicaraan Kevin.
“Kampus kita kedatangan cewe baru Ven, dia datang dari Bandung. Dia cantik, tinggi, seksi, kaya, dan waaw pokoknya cantik deh!”
Vena bingung. Gadis cantik, seksi dari Bandung? Dia penasaran. Mungkin dia kenal dengan gadis yang barusan Kevin katakan.
“Siapa Vin? Mungkin aku kenal sama dia. Aku juga kan dari Bandung” Vena bertanya.
“Hm.. kalo gak salah namanya Nabila. Nabila Assyifa apayah?” Kevin mengernyitkan alisnya. Sepertinya nama itu tidak asing bagi Vena. Nabila Assyifa itu adalah pacarnya Farel! Iya! Tak salah lagi.
“Tapi denger-denger, dia itu anak gak baik Ven, pergaulannya bebas! Gak tau masih gadis apa enggak! Pacarnya juga banyak! Itu kabar yang beredar saat ini. Aslinya sih gak tau persis. Hmm maklum aja, bokap nyokapnya kaya, tapi dia gak terkontrol gitu. Ortunya sibuk kerja. Jadi kaya gitu deh!”
Kevin menjelaskan.
“Hm, aku kaya kenal deh. Dulu dia itu satu sekolah sama aku sebelum aku pindah kesini loh Vin, tapi dia gak seburuk yang kamu bilang tadi. Dia pendiam, dan dulunya berkerudung!” Vena mencoba mengingat saat dia masih bersekolah di Bandung. Terbesit pikiran tentang Farel. Sahabat yang tak akan pernah dia lupakan. Sudah lebih dari 3 tahun Vena tidak berkomunikasi dengan Farel. Berat memang rasanya. Tapi hanya dengan cara itulah Vena benar-benar bisa menghilangkan perasaannya terhadap Farel. Tapi disaat Vena sudah benar-benar move on, Farel malah benar-benar menghilang, telfonnya bahkan tidak aktif. Facebook dan twitternya pun jarang update. Sepertinya Farel memang sudah melupakan Vena.
Vena malah jadi melamun.
“Heyy kok malah nglamun? Udahlah yuk kekelas aja. Udah mau masuk nih!” Kevin membuyarkan lamunan Vena. Sementara Vena sendiri masih diam. Pikiran itu terus menghantui otaknya.
Sebenarnya, Kevin itu memang ramah kepada siapa saja. Dia lebih sering menghabiskan waktunya dengan anak perempuan dikampus. Dan salah satunya adalah Vena. Mereka sering bersama. Tapi tak lebih hanya sekedar teman kelas biasa. Bukan teman spesial seperti Farel tentunya.
Tak terasa, bel pulang berbunyi. Vena berjalan mentusuri koridor kampus untuk segera pulang. Ketika melewati kantin, terlihat banyak anak-anak perempuan sedang ngobrol-ngobrol disana. Tampak oleh Vena gadis cantik dengan pakaian mini, kaus lengan yang memamerkan seluruh tangannya dan jeans ketat yang melekat dikakinya yang jenjang. Vena menghela napas, mengelus dada karena masih banyak orang yang tidak tahu sopan santun seperti gadis itu. Dan ternyata gadis itu adalah Nabila. Yang Kevin ceritakan tadi pagi.
“Nabila...?” vena benar-benar tak percaya saat tahu bahwa gadis seksi itu ternyata adalah Nabila. Nabila kuliah berbeda sekali dengan Nabila SMA dulu.
Sontak, Nabila kaget dengan panggilan barusan. Dia menengok orang yang telah memanggilnya, dan betapa terkejutnya saat dia tahu bahwa yang memanggilnya itu adalah Vena. Sahabat Farel yang amat saangat ia benci. Tapi Vena tak tahu, kalau sebenarnya Nabila sangat membenci Vena.
“Vena? Ngapain lo disini? Ayo cepet ikut gue!” Nabila menarik tangan Vena, menggenggam dan meremas tangan Vena dengan kasar sampe Vena kesakitan.
“Aww, sakit Bil!” Vena mencoba melepaskan tangan Nabila yang masih mencengkeram tangannya itu. Mereka sampai disebuah ruang musik yang memang sudah sangat sepi, dan tak ada lagi mahasiswa berkeliaran disitu. Hanya Vena, Nabila, dan amarah Nabila yang memuncak. Tiba-tiba,
Plakkkk!!!
Tangan keras Nabila melesatkan tamparan yang dahsyat kepipi Vena hingga Vena tersungkur dan bibrnya menabrak meja sampai berdarah. Vena menangis, berusaha menahan amarah Nabila yang semakin memuncak.
“Kenapa akmu tampar aku Bil? Apa aku punya salah ke kamu?” Vene mengelap darah yang mengalir dari bibirnya. Darah itu menetes, hingga menodai kerudungnya.
“Heh denger yah!” Nabila menggentak Vena.
“Semua ini gara-gara elo bego! Gua gak bakal jadi liar kaya gini, kalo elo gak masuk ke kehidupan Farel, ngerti?”
Nabila menjelaskan. Ia nampak sangat marah. Tapi Vena tidak mengerti, apa yang baru saja Nabila katakan.
“Kamu suka kan sama Farel? JUJUR !”
Nabila membentak lagi. Membuat air mata Vena tambah deras.
“Iya! A..aku emang pernah suka sama Farel! Tapi itu dulu Bil, dulu banget pas aku masih SMA! Aku sadar, kamu lebih segalanya daripada aku! Kamu lebih pantas jadi pendampingnya Farel dariapad aku. Farel itu bener-bener sayang sama kamu. Dia gak cinta ke siapapun kecuali ke kamu Bil! Aku sadar, mungkin aku hanya benalu diantara kalian, aku gak mau bikin hubungan kalian hancur gara-gara aku! Jadi aku putusin buat pergi aja dari kehidupan kalian. Aku minta maaf Bil.” Vena menangis. Tangisannya kini benar-benar meng-harukan.
“Lo gak tau Ven, apa yang terjadi saat lo pergi dari dari Bandung..” Nabila menangis. Air matanya jatuh.Tapi dia masih bisa tetap tegar. Dan melanjutkan kata-katanya lagi.
“Semenjak Farel tahu, kamu suka sama dia, semuanya berubah Ven! Dia jadi pendiam, gak kaya dulu. Dia bilang, dia selalu merasa kesepian. Aku tahu kalian itu sahabatan. Tapi, Farel nglupain aku sebagai pacarnya. Farel nyia-nyiain aku, dia diemin aku, dan tanpa alesan yang jelas, dia ngudahin hubungan kita, yang udah hampir 3 tahun. Kamu tahu kan? Gimana perasaanku saat itu? Aku hancur, aku benar-benar sakit hati. Aku kecewa. Dan semua itu gara-gara kamu Ven!”
Nabila mengusap air matanya. Dia tidak tahan membendung air matanya yang sekarang keluar dari matanya.
“T..tapi kenapa gara-gara aku Bil? Apa aku salah pindah kesini, demi hubungan kalian yang aku pikir akan lebih baik saat aku milih pergi dari hidup kalian?” Vena gagap. Dadanya terasa sesak sekali. Dia merasa bingung. Otaknya tak bisa berjalan dengan baik saat ini.
“Karena Farel suka sama kamu Ven! Dia suka sama kamu! Dia lebih milih nunggu kepulangan kamu yang gak tahu kapan dan dia nyia-nyiain aku Ven! Aku juga wanita Vena! Aku sakit! Aku gak bisa terima ini semua! Aku masih sayang sama Farel Ven!” Nabila kini menangis hebat.
Vena diam terpaku. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja Nabila katakan. Air matanya mengalir tak henti-hentinya. Dan sekarang dengan kehadiran Nabila di kampusnya, Vena jadi merasa serba salah ketika apa yang menimpa Nabila itu, tak lebih adalah karena dirinya.
“Gue tau lo bingung dengan semua realita ini Ven! Tapi ini fakta! Ini bener-bener terjadi! Ini bukan mimpi! Bukan juga rekayasa yang dibikin film-film diTV! Tapi ini nyata Ven! Dan ini terjadi dalam hidup gue! Semua ini udah berubah! Aku bukan Nabila yang dulu kamu kenal Ven! Aku berbeda! Dan sekarang, aku sudah menemukan orang yang udah bikin hidup aku jadi hancur kaya gini Ven! Aku udah nemuin lo Ven! Aku bakal balas apa yang udah kamu lakuin ke aku Ven! Ingat itu! Aku bakal balas dendam kekamu! Tunggu saatnya !”
Brakkk!
Nabila pergi berlalu membanting pintu ruangan. Amarahnya benar-benar tak terkontrol. Kini hidup Vena jadi lebih rumit dari sebelumnya. Apa ia harus pindah lagi ke Bandung? Tapi itu cara pengecut. Itu bukan Vena! Sementara Nabila kini senang. Karena sebentar lagi rencananya untuk membalaskan dendam kepada Vena akan segera terwujud. Dan tak ada lagi Farel. Yang ada hanya Nabila, Vena, dan dendamnya yang semakin membara.
Vena pulang kerumah. Pandangannya kosong. Dia benar-benar terpukul. Dia tak tahu lagi apa ujian Tuhan yang akan dia terima nanti. Dia pasrah. Memang sudah seperti ini jalan hidupnya.
Esoknya, Vena pergi kekampus dengan mata yang mem-bengkak. Vena menangis semalaman. Meratapi nasib yang sekarang sedang dialaminya. Tante Ririn bingung. Tapi beliau tak berusaha menanyakan apa yang sedang terjadi. Tante Ririn sudah benar-benar tahu bagaimana watak Vena. Vena hanya butuh waktu untuk sendiri dan tidak diganggu siapapun.
Vena turun dari mobil. Seperti biasa Kevin selalu menunggunya. Tapi Kevin kali ini malah jadi bingung. Melihat reaksi Vena yang diam dan dingin. Tapi, sepertinya Kevin juga sudah tahu bagaimana watak Vena sebenarnya. Jadi Kevin tak ambil pusing dan segera mengajak Vena untuk masuk kekelas hari itu. Kevin berpikir, Vena memang hanya butuh waktu untuk sendiri.
Sepasang mata dibalik semak diantara berjejer sepeda motor ternyata tengah mengamati garek gerik Vena. Orang itu sedang mengincar Vena. Lebih tepatnya begitu. Sepasang mata itu memandang Vena dengan tatapan yang tajam. Melihat seperti akan menguliti Vena
“Tunggu saja Vena Amalia! Sebentar lagi kamu akan hancur! Hmm”
Orang dibalik semak itu membatin. Sepertinya dia mempunyai sebuah rencana jahat yang sebentar lagi akan dia gencarkan kepada Vena.
Orang misterius itu pergi. Sebelumnya dia menemui seorang gadis bersepatu hak tinggi. Gadis itu membisiki orang misterius itu dan memberinya sebuah amplop tebal yang kira-kira berisi uang. Tak sedikit pastinya. Orang misterius itu pergi, meninggalkan area kampus, dan senyum indah menghiasi wajah cantik perempuan ber-hak tinggi itu. Yang ternyata adalah, Nabila.
Hari itu cukup buruk bagi Vena. Dia biasa menyapa teman-temannya yang sekelas, maupun beda kelas. Tapi tidak hari ini. Vena diam, sendiri dan murung. Dia benar-benar tak seperti biasanya. Dia seperti sudah tidak punya semangat hidup lagi.
Kevin tahu, apa yang sedang Vena rasakan. Vena sedang mengalami masalah yang cukup berat. Vena hanya menyendiri, dan Kevin tak tega melihat Vena seperti itu. Kevin mendekati Vena. Kevin tahu apa yang harus ia lakukan
“Ven, sorry aku ganggu. Hmm aku tahu kamu lagi punya masalah. Aku gak tega sih sebenernya ngeliat kamu murung gini. Temen-temen juga banyak yang bingung loh Ven liat kamu kaya gini. Biasanya kan kamu periang, murah senyum gitu. Dan sekarang, jadi diem gini, mereka banyak yang tanya. Kalo kamu butuh temen buat crita, aku ada buat kamu Ven, silakan aja kamu crita, mungkin kalo aku bisa bantu, pasti aku bantu kok”
Kevin dengan baik hatinya, menawarkan dirinya sebagai biro percurhatan. Kevin memang baik. Dan kebaikannya bukan hanya ke Vena saja, tapi kesemua temannya juga gitu. Inilah yang bikin Kevin temannya banyak, dan pastinya banyak yang menyukai sikap Kevin ini.
“Hh, thanks Vin, kamu masih mau perhatian sama aku. Iyah, aku lagi punya masalah besar banget. Aku bingung. Apa yamg mesti aku lakuin? Aku gak sanggup lagi hadepin ini Vin”
Air mata Vena terjatuh lagi. Air mata yang sebenarnya sudah ia janjikan untuk tidak dikeluarkan lagi. Dia sudah janji pada Farel agar tak mengeluarkannya lagi. Dia sudah berjanji agar tak ada kesedihan lagi. Tapi apa daya. Vena tak sanggup membendungnya lagi.
Vena menceritakan kejadian yang sebenarnya dia alami saat ini. Semua memang rumit. Bahkan Vena menceritakan pada Kevin, semuanya. Dari awal, hingga sampe sekarang. Kevin cukup bingung. Sepertinya ia tak bisa membantu apa-apa kecuali membantu Vena agar tetap bersemangat dan tetap tegar menjalani semua ini. Kevin juga berpesan agar Vena selalu sabar menghadapi semuanya.
Tak terasa, Vena menceritakan masalahnya ini hingga hari menjelang malam. Jam menunjukkan pukul 17.20. hari sudah mulai gelap. Kevin menawari Vena untuk pulang bersamanya, karena hari memang sudah agak gelap. Tapi Vena menolak. Ia akan mencari taksi dan pulang sendiri saja.
Sepeninggal Kevin, Vena berjalan sendirian menyusuri lorong-lorong disepanjang kelas untuk segera pulang. Dia sempat mengirim pesan kepada Tante Ririn karena dia pulang agak larut. Semata-mata agar tante Ririn tidak meng-khawatirkan Vena.
Saat Vena sedang menunggu taksi dihalte yang cukup sepi, tiba-tiba, sebuah tangan kasar dan berat mencengkeran Vena, tangan jahat itu membius hidung Vena dengan sebuah sapu tangan yang sudah diberi obat bius. Seketika itu, Vena jatuh terkulai lemas. Dia pingsan. Tangan jahat itu membopongnya dan membawanya masuk kedalam mobil. Ini adalah awal kesengsaraan Vena. Kesengsaraan yang lebih menyakitkan daripada melihat Farel dan Nabila bersama.
Vena tersadar dari pingsannya. Dia terkejut. Dia kaget, menjerit dan menangis tak percaya. Sesuatu yang buruk telah terjadi pada Vena. Sesuatu yang akan merubah hidupnya, menjadi lebih buruk dari sekarang.
Vena tak tahu berada ditempat apa sekarang. Yang jelas, tempat itu adalah sebuah kamar. Kamar penderitaan Vena yang mengantarkannya pada ujung tombak kesengsaraan.
Vena lemas, seluruh tubuhnya terasa sakit dan kaku. Selangkangannya terasa pegal dan, ada darah mengalir dari alat vitalnya. Vena menangis dan menjerit. Seseorang telah mengambil kegadisannya, telah mengambil keprawanannya, dan telah memerkosanya!
Vena sadar, dia telah diperkosa, dia telah dinodai. Dan seseorang yang telah menodainya itu, menghilang entah kemana. Dan yang membuatnya lebih menyedihkan adalah, pria bejat yang tidak bertanggung jawab itu, telah menaruh benihnya dalam rahim Vena.
Vena menangis lagi. Dia menjerit dalam hati. Seorang gadis yang berkerudung, dan dulunya santri, kini telah dijamah oleh laki-laki yang bukan muhrimnya, dan yang lebih parahnya lagi, laki-laki itu tidak bertanggung jawab setelah apa yang menimpa Vena, dia pergi begitu saja.
Vena mencari kerudungnya, membenahi pakaiannya yanng telah berantakan kesana-kemari. Vena masih menangis. Ia tak tahu apa lagi yang harus ia lakukan setelah dia tahu bahwa dirinya telah dinodai. Vena bingung, apa yang harus dia katakan pada tante Ririn sepulangnya nanti kerumah. Dia juga bingung, bagaimana masa depannya nanti. Vena kembali menangis.
Bukan saja keprawanannya yang diambil, seluruh barang berharga yang ada dalam tas Vena pun, tetap dijarah. Handphone, ipad, uang,ATM dan perhiasan yang Vena pakai, semua lenyap. Semua hilang. Vena sedih. Sangat sedih. Apa yang menimpanya ini benar-benar membuatnya menjadi gila. Dia bingung harus kemana. Vena tak mungkin kembali kerumah dengan keadaan compang-camping begini. Vena tak mungkin menelpon tante Ririn atau Kevin, karena ia tak punya uang sepeserpun untuk membayar telepon umum.
Yang ada dipikiran Vena saat ini adalah, bagaimana caranya untuk mengakhiri hidupnya. Otaknya benar-benar sudah tidak bisa lagi ia gunakan. Vena sudah hilang. Mati, dan terlupakan.
Vena pergi keluar dari temapt biadab itu. Dia tak lagi memakai kerudungnya. Tempat itu tak ada penghuninya. Tak ada satu orangpun disana. Sepertinya penjahat itu benar-benar telah mengonsep kejahatannya yang sekarang menimpa Vena ini,dengan sangat baik.
Vena masih menangis, ia memegangi pundaknya sendiri. Tangannya menggenggam erat. Dia berjalan menyusuri rel kereta api ditengah keramaian  malam. Vena tak lagi berpikir bagaimana dia akan pulang. Dia ingin mati saja. Dia ingin mengakhiri hidupnya. Bagaimanapun itu.
Vena kini berjalan tepat  dialas rel kereta api. Air matanya masih menetes. Dia sudah tak ingin lagi hidup didunia ini yang terlalu keras untuknya. Vena menyerah, dan kini dia pasrah. Pasrah menunggu kereta yang sebentar lagi akan menabrak dan menggilas dirinya.
Tuuuutttt.. tuuuuuuuuttt
Kereta itu semakin mendekat. Semakin diujung pula penderitaan Vena. Ia akan segera mati. Ia akan segera meninggalkan hidup ini.
Dan tiba-tiba..
Brakkkk!
Vena terjatuh. Dia tersungkur. Vena tidak mati. Dia masih hidup. Hanya sja, seseorang itu menyelamatkannya.
“Mba.. Mba.. bangun mba?? Mba gak papa kan?”
Laki-laki yang menyelamatkan Vena itu panik, dia takut kalau perempuan compang-camping yang ia selamatkan itu akan mati. Suasana disekitar rel nampak sepi. Laki-laki itu membopong Vena, membawanya kesebuah tempat. Dimana Vena akhirnya bisa kembali menemukan kebahagiaannya yang sempat tertunda.
Vena siuman. Ia tersadar dari pingsannya. Ia mendapati sebuah kamar yang cukup luas. Vena tak yakin dan tak tahu dimana tempat itu. Tapi tempat itu rajin dan rapih. Vena sudah berganti baju. Kini bajunya sudah menjadi putih. Ia senang. Harapannya telah terkabulkan. Ia telah berada disurga sekarang.
Sesorang mengetuk pintu kamar yang Vena yankin adalah kamar surga itu. Orang yang menegtuk pintu itu masuk kedalam kamar vena. Alangkah senang dan bahagianya, saat yang ia temui adalah Farel.
“F..Farel..” mata Vena berkaca-kaca. Dia menangis. Kontan saja Vena bangkit dari ranjangnya dan berlari memeluk Farel yang ada dihadapannga itu.
Farel tersenyum. Senang. Bahagia sekali rasanya bisa bertemu kembali dengan sahabat yang selama ini ia nantikan. Farel memeluk erat tubuh Vena. Tubuh yang sebenarnya sudah kotor dan ternodai.
“Ven... Aku seneng banget bisa ketemu kamu lagi. Aku kangen banget sama kamu Ven..” Farel menangis. Ia menciumi rambut Vena berkali-kali. Vena sadar kini ia benar-benar sudah ada didalam surga.
“Rel, aku bener-bener seneng, Tuhan udah ngirim aku kesurga sekarang..”
Farel bingung. Dia melepaskan pelukannya. Mata Farel masih berkaca-kaca. Farel menatap Vena dalam-dalam. Farel yakin Vena masih ada dalam alam bawah sadarnya. Farel mengamati Vena. Masih sama dengan yang dulu. Tak ada satupun yang berubah. Farel mengusap air mata Vena. Seraya berkata.
“Ven, aku nyelametin kamu dari kecelakaan kereta tadi. Aku yang bikin kamu masih bisa bernapas sekarang. Ini dirumahku Ven, bukan disurga. Aku gak tahu gimana jadinya kalo kamu ketabrak kereta tadi. Apa yang kamu lakuin Ven? Apa? Apa kamu mau bunuh diri? Apa yang terjadi sama kamu Ven? Apa? Kenapa kamu compang-campinng begini Ven? Aku sama sekali gak kenal kamu yang dulu Ven”
Vena kaget, melepaskan tangan lembut yang sedang membelai pipinya itu. Dia tak percaya, air matanya, menetes lagi.
“J..Jadi aku belum mati Rel?”
Plakkk!
Vena menampar Farel. Dia menjerit histeris.
“Kamu jahat Rel! Kamu jahat! Kenapa kamu nyelametin aku dari rel itu hah? Kenapaa??! Kenapa kamu biarin aku tetep hidup Rel? Aku udah capek Rel! Aku capek!”
Vena memukuli dada Farel berkali-kali. Kini ia menangis tertuntuk dibawah kaki Farel. Farel membangunkan Vena yang benar-benar baru sadar dari pingsannya itu.
“Aku, sahabatmu Ven! Kamu cerita aja, semua yang lagi kamu rasain sekarang!”
Farel membujuk. Susah payah dia memohon dan me-minta agar Vena mau bercerita. Vena masih menangis. Bahkan sekarang dia menjerit. Membuat semua pembantu yang ada  dirumah Farel mendekat. Takut terjadi apa-apa.
Vena mengelap air matanya. Air mata yang rasanya benar-benar sudah habis terkuras. Tapi apapun yang sedang ia alami dan rasakan sekarang, Vena tetap mengeluarkan air matanya. Dan sekarang, dia bercerita.
“Rel, Nabila kenapa kamu putusin? Kenapa kamu tinggalin Rel? Kenapa hahh?” Vena berteriak! Membentak Farel dengan suaranya yang sedikit parau. Baru kali ini, Vena benar-benar bisa memarahi Farel.
“Karena aku suka samma kamu Ven! Puas? Aku sadar Ven, kamu itu yang terbaik buat aku. Nabila, Cuma sesaat! Dia gak seperti yang aku bayangin Ven! Gak gitu!”
Farel menjelaskan. Suaranya serak.
“Kenapa kamu baru ngomong sekarang Rel? Kenapa kamu baru ngomong, saat aku udah pindah ke Semarang hah? Kenapa Rel? Kenapa? Kenapa kamu baru bisa buka hati kamu buat aku, saat kamu udah punya Nabila yang selalu ada buat kamu Rel? Kamu yang bilang sendiri kan? Kamu gak bisa move on dari dia? Kamu juga yang bilang sendiri kalo kamu cuman cinta dan sayang sama dia Rel? Iyakan? Ngaku Rel ngaku! Jadi lupain semua tentang persahabatan kita! Aku udah hancur! Aku bukan Vena yang dulu Rel! Bukan! Kamu bikin Nabila patah hati! Itu karena kamu suka sama aku Rel! Buat apasih kamu suka sama aku hah? Aku gak nuntut kamu buat bales perasaanku Rel! Gak gitu yang aku pengen! Aku pengen kamu balik lagi ke Nabila dan lupain rasa suka kamu sama aku Rel. Lupain!! Kamu udah punya Nabila yang lebih segalanya dari aku Rel! huuuhhu...”
Vena menangis hebat kali ini. Dadanya sesak. Nafasnya berat. Seperti ada sesuatu yang menutupi kerongkongannya.
“Ven, kamu mesti belajar satu hal dari kehidupan ini! Hidup ini gak selamanya mulus! Oke fine! Ini semua murni kesalahan aku, yang gak sadar kalo kamu yang bener-benenr cinta sama aku. Meskipun kamu ini sahabat aku. Aku bener-bener anggep kamu sebagai sahabat aku Ven, sampe aku sadar, kamu lebih dari segalanya, sebenarnya. Aku sadar saat kamu ngasih tau perasaan kamu. Dan apa kamu tahu hidap aku pasca kamu pergi dari Bandung Ven? Aku sama sekali gak punya semangat hidup. Entah mengapa. Hidupku jadi hampa. Aku bingung. Aku merasa hidup ini bener-bener sepi, tanpa kamu yang selalu ada buat aku Ven! Kamu perlu tahu itu. Aku behkan bener-bener ngrasa kehilangan, saat kamu pergi ninggalin aku. Aku gak nemuin orang yang kaya kamu lagi Ven! Kamu gak ada duanya!”
Vena masih menangis. Mendengar cerita Farel yang sepertinya tidak berdusta ini.
“Dan aku baru sadar, kalo aku sebenarnya suka sama kamu. Rasa suka yang tadinya membara, dan menggebu-gebu buat Nabila, itu udah sirna begitu aja Ven, dan setelah per-pisahan kita selama 5 tahun ini, aku seneng banget bisa dipertemuin lagi sama kamu Ven. Maaf aku sempat meng-hilang. Aku bahkan gak pernah update jejaring sosialku lagi. Aku juga ganti kartu hp-ku. Itu karena aku yakin, selama kamu di Semarang, selama kamu jadi santri, kamu gak mungkin hubungin aku. Itu Cuma bikin aku mengharap dan mengharap Ven, tanpa tahu kapan pengharapan itu bener-bener akan terwujud. Saat lebaran, ato liburanpun, kamu bahkan gak pernah muncul lagi. Aku tahu alamat rumahmu. Aku sempat main, tapi sayang, kamu udah gak ada lagi disitu. Kamu tahu Ven? Gimana perasaanku? Aku bener-bener sakit. Aku..”
“Cukup Rel! Cukup!..”
Vena memotong pembicaraan Farel. Vena sudah tak tahan lagi mendengar penjelasan Farel yang sekarang membuat usus Vena makin panjang saja.
“H..Harusnya kamu ngertiin perasaan Nabila Rel! Kamu udah bawa Nabila terlalu dalam dihidup kamu. Kamu udah bikin Nabila bener-bener cinta sama kamu, dan saat dia udah bisa bener-bener menempatkan hatinya pada posisi yang menurutnya udah tepat, kamu tanpa alesan, ninggalin dia! Kenapa kamu gak mikir sampe situ Rel? Aku tau kamu gak lebih bego dari aku! Kamu gak lebih bodoh dari aku! Kenapa kamu gak pikir panjang gitu hah? Kenapa? Aku benci kamu Rel, aku benci orang egois sama kamu aku benci!”
Vena membalikkan badan, mengambil bantal yang ada diatas ranjang dan menangis sepuasnya dibantal itu. Entah sudah berapa juta mili air mata dan ingus yang Vena keluar-kan.
“Aku gak nglarang kamu nangis Ven, silakan kamu nangis sepuasmu. Menangislah kalo itu bisa mengurangi penderitaan-mu. Aku bener-bener minta maaf Ven. Aku sadar, akulah yang sebenernya bikin hidup kamu jadi hancur berantakan gini. Aku bakal minta maaf sama Nabila, dan aku bakal minta dia balasin semua yang pernah aku lakui ke dia Ven. Biar kamu bisa maafin aku Ven. Sekali lagi aku minta maaf.”
Farel keluar dari ruangan. Belum sampai Farel menutup pintu, Vena menghentikannya. Mencegahnya, mencegah Farel untuk tidak pergi dari situ.
“Tunggu.. jangan pergi Rel. Kamu gak perlu nglakuin apa-apa. Nabila udah balasin dendamnya ke aku Rel. Gapapa aku ikhlas jalanin semua ini. Tuhan udah ngasih aku takdir begini. Nabila gak marah sama kamu. Dia marah sama aku, karena akulah yang bikin hubungan kalian berantakan. Sampe bikin Nbila jadi liar begitu. Mungkin Nabila udah seneng, karena dia tahu aku udah bisa ngrasain apa yang perah rasain dulu. Rasa sakit yang tiada bandingnya Rel...”
Vena memotong perkataannya. Dia sudah tidak bisa lagi melanjutkan apa yang harus dia sampaikan. Dan apa yang harus dia katakan.
Farel mendekati Vena yang tengisannya kini semakin dramatis. Dia yakin ada sesuatu yang akan dikatakan oleh Vena, tapi Vena tak bisa mengatakannya. Farel memegang kedua pundak Vena, menatap mata Vena yang kini bengkak karena sudah terlalu lama Vena menangis. Perlahan, kedua mata sayu itu bertemu.
“Maksud kamu apa Vena? Ada apa sama kamu? Apa maksud kamu tentang balas dendamnya Nabila kekamu? Kamu gak salah. Harusnya Nabila balas dendam ke aku. Bukan ke-kamu Ven! Pliss, kasih tau aku, apa yang sebenarnya terjadi”
Suaranya lembut. Pelan dan penuh makna. Dia sepertinya sudah mempunyai insting bahwa yang akan dikatakan Vena adalah sesuatu yang buruk. Sekali lagi Farel menatap tajam kearah Vena. Mencoba membaca isi pikiran Vena saat ini, vena yabg sudah hancur.
“Katakan Ven, plisss..”
Farel setengah memohon didepan muka Vena. Vena kembali menangis. Vena membuka mulutnya. Mamberitahu apa yang sebenarnya terjadi padanya saat ini. Suaranya gagap dan terbata-bata.
“A..ak..aku d..diperkosa Rel.. hhuuu”
Vena kembali menangis. Kini ia menangis dalam pelukan Farel. Farel diam terpaku. Dia terhipnotis. Bagaimana bisa orang yang selama ini dia nanti-nanti, kini sudah diambil kegadisannya dan sudah dijarah oleh orang lain?
“Aku tahu Rel, ini semua yang Nabila inginkan dari aku. Aku ikhlas Rel.. ikhlass..”
“Enggak Ven, semua ini salahku. Bener-bener salahku. Aku yang udah membuat kamu jadi begini. Menderita..” Farel memeluk Vena. Air matanya jatuh tepat dipundak Vena.
“Aku biang keroknya. Aku gak mungkin menuntut Nabila atas semua kejadian ini. Aku hanya perlu menuntut diriku sendiri atas apa yang udah terjadi sama kamu Ven.. aku sayang sma kamu. Entah itu sebagai sahabat, atau bukan. Aku tetep ayang kamu. Pliss maafin aku Ven.. plisss”
Kini Farel sujud ditelapak kaki Ven. Vena masih diam. Menangis. Merasakan betapa membingungkannya suasana hari itu. Malam itu. Kesedihan itu.
Hujan turun dengan deras malam itu. Menambah suasana mengharukan antara realita yang kini sedang dialami Farel, dan Vena tentunya.
Vena membangunkan Farel yang kini bersujud menciumi kakr Vena. Vena menghapus air mata Farel yang kini keluar semakin tak terhingga.
“Rel, kamu udah aku maafin. Kamu gak perlu nglakuin apa-apa. Pliss. Aku ikhlas nerima semua ini. Aku udah anggap ini sebagai cobaan Tuhan Rel”
Vena tersenyum. Mencoba mengingat saat mereka dulu bersama dalam keceriaan. Dalam tawa dan canda. Bukan seperti ini. Dalam sedih dan tangis.
“M..makasih banget Ven..”
Farel memeluk Vena. Farel merasa sangat bahagia dan nyaman saat bersama Vena. Berada dalam pelukan Vena. Farel meminta satu hal kepada Vena.
“Ven, izinin aku minta satu hal sama kamu..”
Mata Farel masih berkaca-kaca, air matanya mulai menetes. Bedanya, ini adlah air mata kebahagiaan.
“Izinin aku bertanggung jawab atas semua yang kamu alami selama ini Ven, izinin aku jadi orang yang paling beruntung bisa jadi pendamping hidup kamu, izinin aku melamar kamu Ven..”
Vena kaget, seperti tak percaya apa yang barusan dia katakan. Vena tak yakin tentang ini semua. Dia sudah kotor, dan tak suci lagi.
“Tapi aku udah gak suci lagi Rel, aku udah dinodai, aku udah diperkosa sama suruhan Nabila”
“Aku gak peduli Ven, kamu kaya gini, gara-gara aku, aku pengin jadi orang yang bertanggung jawab sama semua konsekwensi yang mestinya harus aku terima. Aku bakal jelasin semua ini. Kalo perlu, aku bakal bilang, kalo aku yang nodain kamu, biar orang tua kamu bisa nikahin aku sama kamu Ven”
“Jangan Rel. Mereka bakal kecewa, dan mereka bukan-nya nikahin kita, tapi mereka malah bakal jeblosin kamu kepenjara”
Farel bingung. Tapi itu masalah gampang. Tapi bukan meng-gampangkan. Hanya saja, dia harus yakin, bahwa dia bisa melewatinya dengan mudah dan gampang. Agar pada kenyataannya bisa benar-benar mudah dan gampang. Farel melepas pelukan Vena, berjalan keluar dari kamar dan kembali membawa sebuah kotak kecil yang ia bawa di-genggaman tangannya. Ya! Itu adalah cincin! Tepatnya cincin kawin.
Farel menutup pintu, menguncinya dan berjalan menuju arah Vena. Kini tak ada lagi siapapun, kecuali dirinya, Vena, dan hujan yang mulai reda.
Farel menunduk dihadapan Vena, mempersembahkan sesuatu yang tak akan ia berikan untuk orang lain kecuali Vena! Bahkan tidak juga dengan Nabila. Cincin itu, Farel persembahkan hanya untuk Vena. Sekarang, sudah seperti di film-film saja.
“Ven, maukah kamu, bikin aku jadi orang yang paling bahagia karena kamu mau menerimaku, sebagai pendamping hidupmu? Maukah kamu jadi pacarku Ven?”
Kalimat itu seketika membuat jantung Vena seperti berhenti berdetak. Surga yang baru saja dia impikan tadi, kini datang lagi menghampiri. Vena seakan terbang melayang. Tak lagi ingat akan masalah berat yang sebenarnya masih melekat dalam dirinya. Kehadiran Farel kini, benar-benar membuat semuanya berbeda, semuanya jadi indah.
Vena mengangguk, tanpa sepatah kata pun, Farel artikan jawaban itu sebagai ‘YA’. Dia tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Memakaikan cincin itu dijari manis Vena, dan segera mengecup kening Vena.
Dua insan berbeda jenis kelamin ini kembali berpelukan. Mereka larut dalam kebahagiaan. Kedua mata mereka saling menatap, saling bertemu pandang, dan kini saling ber-pandangan. Jarak mereka saling dekat. Mereka tak ingat, bahwa mereka belum disahkan secara agama dan secara negara.
Farel mencium bibir Vena, hingga mereka benar-benar berciuman, mereka larut dalam kenikmatan dunia, yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Mereka bahagia. Sangat bahagia.
Esok telah tiba, Vena terjaga dari tidurnya, dan mendapati seonggok tubuh tanpa busana berada di-sampingnya. Tubuh itu tak lain adalah Farel. Vena tersenyum. Rasanya seperti mimpi saja. Ia bergegas ke kamar amndi. Mebersihkan dirinya, dan segera membangunkan Farel.
Hari itu, Farel langsung menuju kediaman tante Ririn, kediaman orang tua Vena, dan seluruh sanak saudara Vena. Farel mengatakan bahwa ia akan segera melamar Vena. Menjadikannya istri dan berjanji akan membahagiakannya. Termasuk kembali meneruskan kuliah Vena yang sempat tertunda.
Semuanya seperti yang dikatakan Farel. Mudah dan gampang. Dan hari itu adalah hari bahagia untuk kedua anak Adam yang telah menemukan jati dirinya ini.
“Saya terima nikahnya Vena Amalia binti Harun, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan dibayar TUNAI”
“Bagaimana saksi? Sah?”
“Sahh..”
“Alhamdulillah...”
Vena dan Farel menemukan kebahagiaan yang sempat tertuda. Kini tak ada lagi yang bisa memisahkan cinta mereka, sekalipun itu Nabila, maupun Darren.



0 komentar:

Posting Komentar

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

buku tamu :)

Code CBox milik sampeyan
Mau buat buku tamu ini ?
Klik di sini

kursor

Blogger Widgets

kursor

Blogger Widgets

Blogger news

Blogger templates